We asked the International Organization in humanity and the people of the world to become involved in the movement of humanity, and understand the issues carefully, so that this problem can be solved in accordance with applicable law.
BANDUNG, KOMPAS.com
- General Chairman of Muhammadiyah leader Din Syamsudin judge, cases of
alleged corruption in procurement projects Koran Ministry of Religious
Affairs is very sad. It is a shame because it also involves the Muslim holy book.
Do not let happen again become champions Ministry of Religious Affairs as the most corrupt ministry.
- Din Syamsudin
"I read it snapped (allegations of corrupt procurement of the Qur'an).
Thus, the need to verify whether the correct way. But, hopefully it's
not true," said Din Syamsudin, after closing Tanwir Muhammadiyah, 2012,
in Jakarta, Sunday (24 / 6/2012).
Statement of Indonesia Corruption Watch (ICW) some time ago, said Din,
concerning an alleged corruption case could be re-procurement of the
Koran put the Ministry of Religious Affairs as the most corrupt
ministry.
"Do not let happen again to the Ministry of Religious Affairs
'champions' as the most corrupt ministry. It's embarrassing, and it's
not in my opinion, but according to the ICW or the Institute for
Transparency Indonesia said this, Kemenag be 'the most corrupt
ministry'," said Din.
Din said the alleged corruption in the procurement of the Koran
Ministry of Religious Affairs of a body of its own irony for Indonesia
at this time.
"If the Ministry of Religious Affairs of corruption like this, how will
if you want to do the development of religious life," he said.
Besides the matter of alleged corruption, Din also highlighted the
problems of the hajj, which according to Din, the people of Indonesia
and DPR impressed "silent".
"Especially concerning Hajj funds. This we all seemed quiet, the House
was quiet. I got the information that needs to be explored and verified,
that the pilgrim fund that has been how many trillions of dollars it's
not clear right for prospective pilgrims, especially for those who wait
five to 10 years. In fact, some of the funds that he made the pilgrimage
sukuk. Well, this is not true, "he said.
Therefore, it called on the Ministry of Religious Affairs in order to
transparently manage the fund because the fund pilgrims is a mandate
that people do not get corrupted or perverted.
"I hope not to endure a 'champion' in this case the Ministry of Religious Affairs to be the most corrupt ministry," said Din.
BANDUNG, KOMPAS.com -
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsudin menilai, kasus
dugaan korupsi proyek pengadaan Al Quran di Kementerian Agama merupakan
hal sangat menyedihkan. Hal tersebut sekaligus juga memalukan karena
menyangkut kitab suci umat Islam.
Jangan sampai terjadi lagi Kementerian Agama menjadi juara bertahan sebagai kementerian paling korup.
-- Din Syamsudin
"Saya
tersentak membaca itu (dugaan korupsi pengadaan Al Qur’an). Maka,
perlu verifikasi apakah betul demikian. Tapi, mudah-mudahan itu tidak
benar," kata Din Syamsudin, usai penutupan Tanwir Muhammadiyah 2012, di
Bandung, Minggu (24/6/2012).
Pernyataan Indonesia Corruption Watch
(ICW) beberapa waktu lalu, kata Din, mengenai adanya dugaan kasus
korupsi pengadaan Al Quran bisa kembali menempatkan Kementerian Agama
sebagai kementerian terkorup.
"Jangan sampai terjadi lagi
Kementerian Agama menjadi ’juara bertahan’ sebagai kementerian paling
korup. Ini memang memalukan, dan itu bukan menurut saya, tapi menurut
ICW atau Lembaga Transparasi Indonesia menuturkan selama ini, Kemenag
menjadi ’kementerian paling korup’," ujar Din.
Menurut Din, dugaan
korupsi pengadaan Al Quran di tubuh Kementerian Agama sebuah ironi
tersendiri bagi bangsa Indonesia saat ini.
"Kalau di Kementerian
Agama terjadi korupsi seperti ini, bagaimana nantinya kalau mau
melakukan pembinaan kehidupan beragama," kata dia.
Selain soal
dugaan korupsi tersebut, Din juga menyoroti tentang permasalahan haji,
yang menurut Din, masyarakat Indonesia dan DPR terkesan "diam".
"Terutama
menyangkut dana haji. Ini kita semua seolah diam, DPR juga diam. Saya
mendapat informasi yang perlu didalami dan diverifikasi, bahwa dana haji
yang sudah berapa triliun rupiah itu tidak jelas haknya bagi calon
jamaah, terutama bagi yang menunggu lima hingga 10 tahun. Bahkan,
sebagian dana haji itu katanya dijadikan sukuk. Nah, ini yang tidak
benar," katanya.
Oleh karena itu, pihaknya mengimbau Kementerian
Agama agar transparan dalam mengelola dana jamaah haji karena dana
tersebut merupakan amanat umat yang jangan sampai dikorupsi atau
diselewengkan.
"Saya berharap jangan bertahan jadi ’juara satu’
dalam hal ini Kementerian Agama menjadi kementerian paling korup," ujar
Din.
The Defence Force must clarify its role in
training an Indonesian officer of the notorious Kopassus Special Forces
especially given this week's assassination and military violence in West
Papua, Green MP Catherine Delahunty said today.
Kopassus
conducts special operations for the Indonesian government. Human rights
groups have linked Kopassus to numerous human rights violations in West
Papua, East Timor, and Aceh. Kopassus Major Edwin Sumanta attended the
Staff and Command College at Trentham last year.
"The Defence Force has refused to explain the presence of Kopassus Major Edwin Sumanta at Trentham," said Ms Delahunty.
The
Defence Force's role in training someone from a military unit well
known for human rights abuses compromises the reputation of New Zealand.
"That is not acceptable.
"Military
violence in West Papua by unaccountable groups like Kopassus have been a
matter of international concern, notably by Human Rights Watch.
"The
revelation of the Defence Force involvement with Kopassus is
particularly disturbing given the assassinations of West Papuan
community leaders, burning of villages and abuse of citizens in the last
week.
"The Defence Force's role in training someone from a
military unit well known for human rights abuses compromises the
reputation of New Zealand and connects us to the suppression of human
rights in West Papua.
"The role of New Zealand should be as a
mediator in a peaceful dialogue between Indonesian and West Papuan
leaders," said Ms Delahunty.
Angkatan Pertahanan harus menjelaskan perannya dalam melatih perwira
Bahasa Indonesia Angkatan Kopassus terkenal khusus terutama mengingat
pembunuhan minggu ini dan kekerasan militer di Papua Barat, Green MP
Catherine Delahunty mengatakan hari ini.
Kopassus melakukan operasi khusus bagi pemerintah Indonesia. Kelompok hak asasi manusia terkait Kopassus untuk berbagai pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat, Timor Timur, dan Aceh. Kopassus Mayor Edwin Sumanta menghadiri Staf dan Sekolah Komando di Trentham tahun lalu.
"Angkatan Pertahanan menolak untuk menjelaskan kehadiran Kopassus Mayor Edwin Sumanta di Trentham," kata Ms Delahunty.
Peran Angkatan Pertahanan dalam seseorang pelatihan dari unit militer
terkenal karena pelanggaran hak asasi manusia kompromi reputasi Selandia
Baru.
"Itu tidak dapat diterima.
"Kekerasan militer di Papua Barat oleh kelompok-kelompok yang tidak
akuntabel seperti Kopassus telah menjadi keprihatinan internasional,
terutama oleh Human Rights Watch.
"Pengungkapan keterlibatan Angkatan Pertahanan dengan Kopassus terutama
mengganggu mengingat pembunuhan tokoh masyarakat Papua Barat, membakar
desa dan penyalahgunaan warga pada minggu lalu.
"Peran Angkatan Pertahanan dalam seseorang pelatihan dari unit militer
terkenal karena pelanggaran hak asasi manusia kompromi reputasi Selandia
Baru dan menghubungkan kita dengan penindasan hak asasi manusia di
Papua Barat.
"Peran Selandia Baru harus sebagai mediator dalam dialog damai antara Indonesia dan Papua Barat pemimpin," kata Ms Delahunty.
The orderof thePresident ofIndonesiais tailored togovernmentprogramsthat have beenformedfrom theleadership ofthe first President,namely: IrSoekarno. So thedemonstrations, we have done inAustralia, so thatthe international communityaware ofthe politicalsituationthat has been doneby thegovernmentof IslamicJava/ Indonesia.
On this map are the places where
political fighters Moluccan nation and the people of West Papua was
tortured beyond human limits by police and military as a duty of the
state that it is a command from the Government of Indonesia in Jakarta,
where already is a big responsibility for Susilo Bambang Yudhoyono as
President of Indonesia, because Indonesia is the task of the President
holds the power over the army, the TNI-AL, the TNI-AU, and supplemented
with the Police.
Crime Government of Indonesia since the initial establishment of the Republic of Indonesia can be seen from the basic humanitarian rights issues in the nation's history happened in accordance with applicable International law, see on the link of Karen Parker in below, which is Maluku have some of her part's into presentation to United Nation:
BY KAREN PARKER
DEFINITION OF SELF-DETERMINATION
The right to self-determination, a fundamental
principle of human rights law,
(1) is an individual and
collective right to "freely determine political
status and [to] freely pursue economic, social
and cultural development."
(2) The principle of
self-determination is generally linked to the
de-colonization process that took place after the
promulgation of the United Nations Charter of 1945.
(3)
Of course, the obligation to respect the principle of
self-determination is a prominent feature of the
Charter, appearing, inter alia, in both Preamble to
the Charter and in Article 1.
The International Court of Justice refers to the
right to self-determination as a right held by people
rather than a right held by governments alone.
(4) The
two important United Nations studies on the right to
self-determination set out factors of a people that
give rise to possession of right to
self-determination: a history of independence or
self-rule in an identifiable territory, a distinct
culture, and a will and capability to regain
self-governance.
(5) The right to self-determination is indisputably a
norm of jus cogens.
(6) Jus cogens norms are the highest
rules of international law and they must be strictly
obeyed at all times. Both the International Court of
Justice and the Inter-American Commission on Human
Rights of the Organization of American States have
ruled on cases in a way that supports the view that
the principle of self-determination also has the legal
status of erga omnes.
(7) The term "erga omnes" means
"flowing to all." Accordingly, ergas omnes obligations
of a State are owed to the international community as
a whole: when a principle achieves the status of erga
omnes the rest of the international community is under
a mandatory duty to respect it in all circumstances in
their relations with each other.
Unfortunately, when we review situations invoking the
principle of self-determination, we encounter what we
must call the politics of avoidance: the principle of
self-determination has been reduced to a weapon of
political rhetoric. The international community,
therefore, has abandoned people who have the claim to
the principle of self-determination. We must insist
that the international community address those
situations invoking the right to self-determination in
the proper, legal way.
THE DE-COLONIZATION MANDATE
As a result of the de-colonization mandate, two types
of situations emerged: situations I call "perfect
de-colonization" and those that I call "imperfect
de-colonization". The principle of self-determination
arises in the de-colonization process because in a
colonial regime the people of the area are not control
of their own governance. In these situations there is
another sovereign, and illegitimate one, exercising
control. De-colonization, then, is a remedy to address
the legal need to remove that illegitimate power.
(P)
A. Perfect de-colonization.
In a perfect de-colonization process the colonial
power leaves and restores full sovereignty to the
people in the territory. In these situations, the
people have their own State and have full control of
their contemporary affairs, with a seat in the United
Nations and all other attributes of a State in
international law. There are either no component parts
of the State that would have the right to
self-determination in its own right or if there are
such component parts, the State has voluntarily become
a working multi-group State. Some de-colonization that
took place after the UN Charter can be viewed as
"perfect." This is not to declare that all States that
were former colonial States have a "perfect" current
government or that a particular government in any of
these States fully respects human rights. However, the
issue of self-determination no longer arises in these
countries.
B. Imperfect colonization.
Imperfect de-colonization occurs when there is an
absence of restoration of full governance to a people
having the right to self-determination. There are
several types of imperfect de-colonization. In one
scenario, separate States conquered by a colonial
power were amalgamated into what the colonial powers
frequently referred to as a "unitary" state -- a kind
of forced marriage between the two or more formerly
separate States. The people of these States usually
have different languages, ethnicities, religions or
cultures. At the termination of the colonial regime,
the colonial power may simple turn over power to one
of the groups and leave the other group or groups
essentially entrapped into the new de-colonized State.
The entrapped group may resist this, and may seek to
restore its pre-colonial sovereignty.
In another scenario, these different groups may decide
to continue as a unitary State, but with an agreement
(usually through the de-colonization instrument or
national constitution) that if it does not work out,
then the component parts would go back to their
pre-colonial status of independent units. This is what
I call a "we'll give it a try" abrogation of full
independence by usually the smaller group or groups
with clear op-out rights (a fall-back position) if the
"unitary" system set up by colonial power fails to
afford them full rights. However, when a component
part seeks to opt-out, the dominant power refuses.
In yet another scenario, one State may forcibly annex
a former colonial people, but either the effected
peoples, the international community or both do not
recognize this as a legal annexation. The
international community may have even mandated certain
procedures, as yet unrealized, by which the effected
people are to indicate their choice regarding
self-termination rights.
In a fourth scenario, there may be a situation where a
small component part of a colonially-created "unitary"
state agreed to continue the unitary State but with no
particular "op-out" agreements signed. Rather, there
were either verbal or negotiated, written agreements
about how the rights of the smaller (or in some
situations weaker) group would be protected in the
combined State. However, the smaller or weaker group
then experiences severe curtailments of their rights
over a long period of time by the dominant group and
may lose the ability to protect its rights by peaceful
means.
CASE STUDIES
Burma.
(8) I will begin with the de-colonization process in
British Burma. The 1947 Constitution of Burma, which
was to be the constitution following the
de-colonization process, had "opt-out" clauses
regarding the many different people of the territory
occupied by Great Britain. In other words, the groups
that were put under "unitary" rule by the British
would have the right to say they do not want to
continue being united to the other groups in
post-colonial Burma. This is the classic "we will
give it try" scenario, with the protection of legal
instruments to enforce the "opt out" rights.
The 1947 Constitution in Burma had a ten-year trial
period, so theoretically a group couldn't have opted
out until 1957. However, in the intervening years
between 1947 and 1957, the Burmese, the majority in
that area, seized power and the other ethnic
nationalities that were part of the union of Burma
began to suffer. Even worse, the Burmese government
unilaterally extinguished the opt-out rights under the
1947 Constitution. Many people think the situation of
human rights in Burma, under serious review by the
United Nations Commission on Human Rights for many
years, relates to the Burman
(9) military regime against
Daw Aung Sang Suu Kyi's ethnically Burman party and
her supporters.
Unfortunately, the situation is far
more complex than that -- the majority of the more
serious human rights violations have occurred in the
context of conflicts between the Burman army against
the military forces of the other ethnic nationalities
that were given the right to cede in the 1947
Constitution: the Karen, the Karenni, the Mon, the
Shan and others. In fact some of those groups cast a
leery eye at any Burman political party: they say that
even if Daw Aung San Sui Kyi's party takes over, the
relationship between that essentially Burman party and
the other ethnic nationalities is not certain. In
particular, some groups are unsure as to whether they
will then be able to exercise their op-out rights
conferred under the 1947 Constitution.
The Moluccas.
(10) A second situation is that of the Moluccas. This
situation arose in the area of the Netherlands East
Indies. I use that term rather than Indonesia because
the term Indonesia is term invented at the time of the
de-colonization process - there was not a State called
Indonesia prior to 1949. Whereas the British were
mainly behind the scenes during the 1947
constitutional process in Burma,, the Netherlands
authorities had their hands in very heavily throughout
the de-colonization process of the Netherlands East
Indies.
The Netherlands, as had Great Britain, amalgamated
many unrelated nations and placed them under the
colonially-imposed "unitary" state system --under one
rule.
At the time of de-colonization there was great
difficulty in reaching an agreement as to what should
happen to all of those formerly independent island
nations. The strongest and most populous group was the
Javanese, centered in Jakarta although also located
elsewhere in the islands. The Javanese became the
bargaining power. So through the Netherlands and the
Javanese and with the cooperation of the United
Nations at that time, Indonesia was to come into
being. The de-colonization instrument, called the
Round Table Conference Agreements of 1949, was between
the Netherlands, the Javanese - Indonesian leadership
and the United Nations.
(11) The new State to be formed
from the Netherlands East Indies was to be called the
United States of Indonesia and was to be made up of
the Javanese islands to be grouped as "the Republic of
Indonesia" and other co-equal "republics." The
Moluccas was to be part of the Republic of East
Indonesia.
The Round Table Conference Agreement had several
"opt-out" provisions offering provisions for both
internal and external choices. For example, the
populations of territories were to be given a
plebiscite to determine "whether they shall form a
separate component state."
(12) The second "opt-out"
provision allowed states that did not ratify the
constitution to negotiate with either the United
States of Indonesia or the Netherlands for a "special
relationship."
(13) Thus, the de-colonization instrument
itself for the Netherlands East Indies gives the
Moluccas the legal right to secede.
Immediately following the turning over of power, the
Javanese began to forcibly incorporate the component
parts into the Republic of Indonesia (the Javanese
stronghold) rather then implement any plebiscites.
Additionally, the Javanese made clear they would not
allow component parts to "opt-out" entirely. With
increasing Javanese pressure on the Moluccas, the
Moluccas responded by invoking Article 2.
2: on April
25, 1950 the Moluccan leadership declared the
independent state of the Republic of South Moluccas.
However, the Javanese strongly opposed this, and
itself invaded the Moluccas. Sadly, at that same time,
the Moluccan forces were seriously depleted because
the Netherlands had transported 4,000 Moluccan troops
and their families to the Netherlands. The Moluccan
forces had been part of the Netherlands forces in the
East Indies (the KNIL) and transported them to the
Netherlands. The Moluccan people were left without
defenders against the Javanese army.
At the time, the United Nations Commission for
Indonesia took up the Moluccan case. But even so, it
became apparent that the politics of the United
Nations seemed to change. It is difficult to assess
what occurred, in part because, as I discovered in
researching the Security Council and United Nations
Commission for Indonesia of that era, most of the
documents are still embargoed. Researchers cannot even
look at them. What is obvious is that a deal was made
probably behind the scenes, because in the end, the
United Nations did not insist on the removal of the
Javanese from the Moluccas and the Commission for
Indonesia quietly ceased to exist in about 1955.
As you know, many other component parts of the former
Netherlands East Indies share with the Moluccas a
continuing (and indeed worsening) period with rampant
and violent attacks by the Indonesian Army and
government-supported paramilitary groups as well as
continuing violations of human rights. This is truly a
crisis of self-determination, effecting especially the
Moluccas, Acheh, and West Papua.
Kashmir.
(14) The next situation I want to present is Kashmir - an
" imperfect" de-colonization process in which the
United Nations also got involved. The United Nations
interest in the situation of Kashmir began in
1947-1948 during the de-colonization process of the
British Empire in south Asia. The leaders of what
became Pakistan and India reached an agreement with
the British that the people of Kashmir would decide
their own disposition. Prime Minister Nehru (India)
had gone on record publicly saying that the
disposition of the Kashmir people will be up to
them.
(15) Due to a great deal of turmoil in the area,
including a full-fledged revolt in Kashmir against the
British-imposed maharajah, the United Nations began
formally to address Kashmir in 1948. That year, the
Security Council established the United Nations
Commission on India and Pakistan, which, in addition
to the Security Council itself, adopted resolutions
mandating that the final disposition of Kashmir was to
be via a plebiscite carried out under the auspices of
the United Nations.
(16) The Indian government backed up its earlier promises
that the Kashmiri people would decide the future of
Kashmir when it supported the plebiscite under the
auspices of the United Nations. The Security Council
resolutions cited above indicating United Nations
action to settle the Kashmir question were all
supported by India as were resolutions of the United
Nations Commission for India and Pakistan. For
example, on January 5, 1949, India agreed to a
Commission resolution stating:
The question of the accession of the State of Jammu
and Kashmir to India or Pakistan will be decided
through the democratic method of a free and impartial
plebiscite.
(17) However, before such a plebiscite could take place,
the armed forces of India seized much of Kashmir under
the pretext of coming to aid the British-maharajah who
was attempting to quell the Kashmiri's revolt against
him. The maharajah obtained India's military help in
exchange for an Instrument of Accession giving Kashmir
to India.
(18) Since that time, India has maintained
control of what must be called Indian-occupied
Kashmir, and continually refers to Kashmir as an
integral part of India. India supports this view in
part because of Indian-managed elections taking place
in Kashmir. However, the United Nations Security
Council has repeatedly rejected this argument, by
stating that such unilateral acts do not constitute
the free exercise of the will of the Kashmiri people:
only a plebiscite carried out by the United Nations
would be valid.
(19) Unfortunately, the plebiscite has still not occurred.
By the mid-1950s, the Cold War deepened and the
alliances in the region fell under different spheres
of influence in that Cold War. The United Nations
Security Council and the Commission had established a
plebiscite administration under the authority of the
president of the Security Council, and both directly
with the President of the Security Council and the
Commission on India and Pakistan, a series of
plebiscite administrators were unable to secure a
situation on the ground so that a plebiscite could
take place. The last plebiscite administrator finished
his term somewhere between 1955-1956.
Today we find that the disposition of Kashmir has not
been legally decided. It is not an integral part of
any country and yet we have the failure today of the
realization of the expression of self-determination of
the Kashmir people. The Kashmiri people are involved
in a brutal war in Jammu and Kashmir - what I call the
Kashmiri War - in which 5-700,000 Indian troops are
present in the area carrying out military actions
against civilians and Kashmiri military forces alike.
In the course of that armed conflict, the Indian
forces have engaged in grave breaches of the Geneva
Conventions and the general laws and customs of war.
Rapes, disappearances, summary execution, torture and
disappearances related to the conflict are nearly
every-day events in Indian - occupied Kashmir.
Even without the United Nations recognition of the
Kashmiri's right to self-determination, the Kashmir
claim is exceptionally strong and so makes a good case
study from this perspective. The area had a long
history of self-governance pre-dating the colonial
period.
(20) The territory of Kashmir has been clearly
defined for centuries.
(21) Kashmiri people speak
Kashmiri, which, while enjoying Sanskrit as a root
language as do all Indo-European languages, is clearly
a separate language from either Hindi or Urdu.
(22) The
Kashmiri culture is similarly distinct from other
cultures in the area in all respects -- folklore,
dress, traditions, and cuisine. Even every day
artifacts such as cooking pots, jewelry have the
unique Kashmiri style.
(23) Most important to a claim to self-determination, the
Kashmiri people have a current strong common
aspiration for re-establishment of self rule. The
Kashmiri people resisted the British, and maintained a
degree of autonomy throughout British rule. In 1931 a
major uprising of Kashmiris against the British and
the British-imposed maharajah was brutally put down.
But the "Quit Kashmir" campaign against the maharajah
continued into 1946, when the Azad Kashmir movement
gained momentum. During the breakup of British India,
the Azad military forces began armed attacks against
the forces of the maharajah -- prompting the accession
to India in exchange for Indian military protection.
(24)
Resistance to India has continued unabated throughout
Indian occupation, with major uprisings in 1953, 1964
and continuing essentially unabated since 1988.
While resistance to India has played a major role in
Kashmiri events, there is also forward-looking
political leadership with a clear will and capability
to carry on the governance of an independent Kashmir.
There are a number of political parties in Kashmir
that have been active for some time, even though at
great risk. Many of the leaders of these parties have
spent time in Indian jails, some for many years,
merely because of their political views on Kashmir. In
1993 most of the Kashmiri political parties joined
together to form the All- Parties Hurriyet Conference
(APHC).
Since it formation, the APHC has sent leaders around
Kashmir and around the world to forward dialogue,
peaceful resolution of the Kashmiri war, and
realization of the United Nations resolutions for a
plebiscite of the Kashmiri people. Leaders and
representatives of the APHC have regularly attended
United Nations human rights sessions, special
conferences and the General Assembly.
I also encourage people to investigate the situation
in the Punjab in India as well. I am less an expert on
the situation there. However, as part of the
de-colonization processes, there have been a number of
agreements, well before the British left, between the
Punjabi leadership, the British and others with
promises and agreements which have not been met, that
are a factor in the disturbances and the question in
the Punjab. Although it is different from the Kashmir
question with the distinct Security Council resolution
and obligation of the International community to carry
out a plebiscite in Kashmir, it may be that final
resolution to the difficulties in the Punjab will have
to incorporate some form of self-determination in that
region.
Tibet.
(25) I want to very briefly discuss Tibet. The Tibet
situation represents a post-Charter annexation because
China seized independent Tibet in1949 -1950. Rather
than a de-colonization the international community was
faced with a new colonization. For Tibet, of course,
now the issue is de-colonization. The early documents
of the United Nations on that question indicate the
right to self-determination of the Tibetan people:
quite obviously the international community had to
recognize China's the post-Charter military seizure as
illegal.
(26) The situation in Tibet is still not
resolved and the Tibetan people still have the right
to self-determination, and have the right to their
governance and culture.
Unfortunately, China is sending large numbers of
non-Tibetan people into Tibet. Rather than ethnic
cleansing, China is engaging in ethnic dilution. This
is a violation of Article 49 of the Fourth Geneva
Convention. This is where the government of China
does the most damage to Tibetans and their culture,
because in many parts of Tibet, Tibetans are now in
the minority. This becomes a very serious situation in
the realization of self determination. If you think
for a moment at what Madame Daes said in her paper
about a middle ground self-determination, where there
is some agreement that the indigenous peoples'
question should not be handled in terms of absolute
sovereignty, China seeks to dilute Tibetans with
others, so that if forced into any de-colonization
process the Tibetan question might be viewed as an
indigenous question rather than one involving full
restoration of sovereignty. This "trick" is used
elsewhere by other governments and has been especially
rampant in the Moluccas where the Indonesian
authorities have for may years sent Javanese
"settlers" into Moluccan territory.
Sri Lanka.
(27) The situation in Sri Lanka, for many years now
engulfed by armed conflict between the
Sinhala-controlled government and the Tamil people,
must be understood in terms of an "imperfect"
de-colonization process by the British. Once again,
two distinct countries - in this case the Tamil nation
and the Sinhala nation -- were amalgamated under
"unitary" rule by the colonizers.
The Sinhala and the Tamil people in the island of
Ceylon are as distinct as say the Finns and Italians.
The colonizers understood this clearly. The first
colonial power on the island, Portugal, was only able
to conquer the Tamil country more than 100 years after
it conquered the Sinhalese one. In 1621 the Portuguese
captured the Tamil king Sankili and killed him. The
Dutch took over the island from the Portuguese, and
apparently were able to exercise some loose governance
over the Tamil areas but mostly ruled from the
Sinhalese lands. When the British came, they were able
to establish a unitary rule. This was not without
protest from Britain's own early administrators, as
the first of them said, and I paraphrase here, "I do
not know how we are going to do this -- these people
are really different", recognizing that in this case,
the forced marriage of unitary rule would never
work.
(28) And in fact during the British
administration, the two peoples were probably less
amalgamated together than in other areas where the
British created "unitary" states: there was clearly a
governance recognizing the very different natures of
these people.
In the de-colonization process in Sri-Lanka, there was
an attempt between the Tamil and Sinhala leadership to
try out a post-colonial unitary state despite the
historic situation of the two countries. In the first
two constitutions, there was an agreement between the
majority Sinhalese people and the numerically fewer
Tamil people for a government structure that would
guarantee that the Tamil people would not become
fatally submerged under the Sinhala. So there was an
attempt to avoid submersion in the language of the
Constitution of 1947. Before the ink was dry, the
Sinhala leadership began to violate the terms. There
were a number of subsequent agreements between the
Tamil and Sinhala leadership to re-negotiate on
various occasions, beginning even as early as 1950 and
1951. However major pacts between Tamil leadership
and Sinhalese leadership that allowed the rights of
the Tamil people and the rights of the Sinhalese
people to be dually respected in a jointly run island
also failed.
(29) In evaluating this situation then, in
light the right of self-determination, we can see that
this was an "imperfect" de-colonization process. The
attempts to negotiate and re-negotiate to try to keep
open ways to guarantee rights for the Tamil people
failed for nearly 30 years, at which point the
combined Tamil leadership said that "unitary" rule was
no longer an option.30 Since 1982, a war has ensued
defending that right of the Tamil people to
self-determination.
Western Sahara.
One last situation I want to bring up, that of Western
Sahara, brings up an extremely important point that I
will not be able fully to elaborate here, but that
nonetheless helps us in some comparisons between
"peoples" - people with a legal right to full
sovereignty -- and "indigenous peoples" - people with
a right to internal self-termination and local rule
but not full sovereignty. The International Court of
Justice, in its decision on the Western Sahara in
1975, ruled that if there is land that in fact no one
has ever claimed, it is opened for grabs. Such land is
called "terra nullius" - empty land. But if any land
has had a population on it, that land belonged to that
population and is not open for grabs. This question
arose in the de-colonization process of Western Sahara
because Morocco attempted to claim that prior to
becoming a colony of Spain, Western Sahara has been
"empty" except for a few nomadic Moroccans. The
Court, however, found the Saharans to be a distinct
people who historically populated that land.
When we realize that the international community,
however, did not require that the colonizers of the
lands of the American and Oceanic peoples to return
those lands with full sovereignty, there appears to be
a clear violation of the principle enunciated by the
Court in the Western Sahara case. The sad fact is,
that due to a legal principle usually referred to as
"impossibility" - the European people were not
obliged to cede land and power back to the American
Indian and Oceanic peoples. Impossibility is those
situations was in part related to the sheer numbers of
colonizers,
(31) in part to the scale of "colonial"
enterprises, and in part to the perceived idea that
the Indigenous Peoples were not capable of taking over
governance of the countries in their current state.
Yet the numbers factor was a direct result of massive
killing of the original people by the colonizers and
their armies. So, in fact, the international community
rewarded genocide by letting the colonizers and heirs
to colonizers remain in full control. One wonders if
the current schemes of both ethnic cleansing and
ethnic dilution rampant today results from some
perceived expectation by the perpetrators that the
doctrine of "impossibility" may be applied to them and
they will become the sole sovereign.
FINAL REMARKS
Most of you are aware of the facts set out in the
above-outlines situations where people have the right
to self-determination but have not yet realized it. In
these countries there are conflicts -- I do not just
mean verbal ones but armed ones. Unfortunately, many
of the states involved in attempting to militarily
obliterate the peoples with valid self-determination
claims try to reduce these conflicts to "terrorism".
So depending on which side of the fence you are on,
group A is either a terrorist or a freedom fighter.
Some of these regimes' friends either acquiesce or
actively support this erroneous assertion.
Apart from the mud-slinging, the tragedy is that states are
in open violation of their jus cogens and erga omnes
obligations to defend the principle of
self-determination. And also, very sadly, not enough
people know sufficiently both the law of
self-determination and the law of armed conflict to
properly redirect the dialogue. The defenders of
self-determination are in a very vulnerable position,
charged with terrorism. The supporters of the groups
fighting for the realization of national liberation
may also be labeled or unduly burdened by laws against
terrorism at the extremely serious expense of not only
human rights but rights under the Geneva Conventions,
other treaties and customary laws of armed conflict.
NOTES
1The Universal Declaration of Human Rights provides
that "the will of the people shall be the basis of the
authority of government." Universal Declaration of
Human Rights, G.A. Res. 217A (III)(1948), Art. 21; The
International Covenant of Civil and Political Rights
(ICCPR), in force Mar. 23. 1976, 999 U.N.T.S. 171,
Art. 1; The International Covenant on Economic, Social
and Cultural Rights (ICESCR), in force Jan. 3, 1976,
999 U.N.T.S. 3, Art. 1.
2. ICCPR, Art.1; ICESCR, Art. 1; see also Karen
Parker & Lyn Neylon, Jus Cogens: Compelling the Law of
Human Rights, 12 Hastings Int. & Comp. L. Rev. 411,
440 (1989), drawing on discussion of the right to
self-determination in A. Critescu, The Right to
Self-determination, U.N. Doc. E/CN.4/Sub.2/404/Rev. 1,
U.N. Sales No. E.80.XIV.3 (1980) and H. Gros Espiell,
The Right to Self-Determination, U.N. Doc.
E/CN.4/Sub.2/405/Rev.1, U.N. Sales No. E.79.XIV.5
(1980).
3. This paper does not address the issue of the right
to self-determination of Indigenous Peoples and is not
meant to deny application of self-determination rights
to Indigenous Peoples. Please refer to the paper of
Mme Erica-Irene Daes in this document for discussion
of Indigenous Peoples and self-determination.
4. Western Sahara Case, 1975 International Court of
Justice 12, 31.
5. Gros Espiell, op.cit. and Critescu, op. cit..
Critescu defines "people" as denoting a "social entity
possessing a clear identity and its own
characteristics" (op. cit. at p. 41) and implying a
"relationship to territory" (id.).
6. H. Gros Espiell, op. cit. at p. 12:"[N]o one can
challenge the fact that, in light of contemporary
international realities, the principle of
self-determination necessarily possesses the character
of jus cogens." Gros Espiell cites numerous references
in United Nations documents referring to the right to
self-determination as jus cogens. Id., at pp. 11-13.
See also Legal Consequences for States of the
Continued Presence of South Africa in Namibia
(S.W.Africa) 1971 International Court of Justice 16,
89-90 (Ammoun, J., separate opinion)(recognizes jus
cogens nature of self-determination); I. Brownlie,
Principles of Public International Law 83, (3d ed.
1979)(argues that combatants fighting for realization
of self-determination should be granted a higher
status under armed conflict law due to application of
jus cogens to the principle of self-determination);
See also Karen Parker & Lyn Neylon, op. cit. at 440-41
(discusses, with many references, self-determination
as jus cogens right).
7. While not using the precise term as it did in an
earlier case (Barcelona Traction, Light and Power Co.
(Belg. v. Spain) 1970 International Court of Justice
3, 32), many consider the language of the Nicaragua
Case reflective of both a jus cogens and erga omnes
duty to respect the principle of self-determination.
See The Nicaragua Case (Nicar. v. United States) 1986
International Court of Justice 14. The Inter-American
Commission was explicit regarding the erga omnes
duties of all states to guarantee civil and political
rights. Inter-American Commission on Human Rights,
Organization of American States, Press Communique no.
13/93 (May25, 1993).
8. Please also see Human Rights in Burma, Hearings on
Burma before the Subcomm. On For. Ops. Of the Senate
Appropriations Comm., 104 Cong., 1st Session
(1995)(Statement of Karen Parker); Human Rights in
Burma, Hearing on Burma before the Subcomm. On Asian
and Pacific Affairs of the House Comm. on For.
Affairs, 103rd Cong. 1st Session (1993)(Statement of
Karen Parker).
9. I use the term "Burman" to refer to people who are
ethnically Burman rather that the term "Burmese" -
which refers to people who reside in Burma who may be
either Burman or one of the other ethnic
nationalities.
10. Please also see Karen Parker, Republik Maluku: The
Case for Self-Determination, (IED/HLP 1996).
11. The United Nations involvement began with the
establishment of Committee of Good Offices on the
Indonesian Question of the Security Council in 1947.
In 1949 this Committee ceased when the Security
Council established the United Nations Commission for
Indonesia. These bodies were constant participators in
the de-colonization process.
12. Round Table Conference Agreement, Article 2.1 of
the Third Agreement (Transitional Measure).
13. Idem, Article 2.2. The two "opt-out" measures were
incorporated under pressure from the authorities of
the Netherlands.
14. Please see Karen Parker, The Kashmiri War: Human
Rights and Humanitarian Law, (IED/HLP 1996).
15. For example, in a 3 November 1947 radio broadcast,
Mr. Nehru stated: "We have declared that the fate of
Kashmir is ultimately to be decided by its people.
That pledge we give not only to the people of Kashmir
but to the world. We will not and cannot back out of
it."
16. See, especially Security Council resolutions 39
(1948), 47 (1948), 80 (1950), 91 (1951) and 96 (1951).
17. Resolution of the United Nations Commission for
India and Pakistan, adopted on 5 January 1949,
reprinted in UN Doc. S/1196 of 10 January 1949.
18. An interesting side note to this involves this
Instrument of Accession, supposedly signed by the
Maharajah Hari Singh and Lord Mountbatten, and
rumoured to be missing from the Indian state archives.
News reports indicate that the United States, other
western and some Arab states wished to view the text
because of serious questions of its validity. See,for
example, "Instrument of Accession to India missing
from state archives", PTI News (New Delhi), 1
September 1995.
19. See, for example, Security Council resolution 122
of 24 January 1957. India had claimed that the
Kashmiri people accepted secession to India because a
Kashmiri Constituent Assembly approved it in 1956.
However, that assembly was chosen by India and does
not meet requirements of a plebiscite as expressed in
Security Council resolution 122. As states Rapporteur
Gros Espiell: "A people under colonial and alien
domination is unable to express its will freely in a
consultation, plebiscite or referendum organized
exclusively by the colonial and alien power." H. Gros
Espiell, op cit. at p. 11.
20. Kashmir successfully regained independence when
overrun by Alexander's Empire in the 3rd century B.C.
and the Moghul Empire of the 16th and 17th centuries.
21. Historic Kashmir comprises about 84,000 square
miles, making it somewhat larger that the United
Kingdom. Its current population is about 12 million.
22. Spoken Kashmiri also draws on the Persian and
Arabic languages. Written Kashmiri uses a variation of
Urdu script.
23. Even fabrics, embroidery and carpets have
uniquely Kashmiri designs. My organization's delegates
to the area report that recognition of the distinct
culture of Kashmir is unanimous in India.
Unfortunately, this recognition is in the negative in
that every-day Indians show great prejudice against
anything Kashmiri. Our delegates confirm the Indian
mind-set that Kashmiri people, their culture, cuisine,
indeed everything about Kashmiris is inferior. But in
these displays, they clearly indicate that Kashmiri is
not Indian.
24. Kashmiri self-determination is also defended by
the principle that the determination of the political
future of a colonized people made either by the
colonial power itself or a "ruler" established by the
colonial power is repugnant to the process of
de-colonization and the principle of
self-determination. I would challenge the legitimacy
of an instrument of accession of Kashmir to India if
in fact one were to be found. This rejection of
"determination by colonial power" seems to be the
guiding principle of the Security Council in its
dealing with Kashmir. It is also clearly behind the
fact that the government of Spain sought advice from
the International Court of Justice on the question of
to whom should Spain hand over power when they left
the Spanish Sahara. See The Western Sahara Case, 1975
Int'l Court of Justice 12.
25. Please see Report [on Tibet] of the
Secretary-General, U.N. Doc. E/CN.4/Sub.2/37, which
includes my submission regarding self-determination
and Tibet.
26. See especially General Assembly resolutions 1353
(1959); 1514 (1960) and 1723 (1961).
27. Please see the following written statements
submitted to the United Nations by International
Educational Development/Humanitarian Law Project:
Self-Determination, E/CN.4/1998/89; The Situation in
Sri Lanka, E/CN.4/Sub.2/1995/17; E/CN.4/1994/37.
28. In 1799 Sir Hugh Cleghorn, the first Colonial
Secretary, wrote what has become known as the
"Cleghorn Minute": "Two different nations, from very
ancient period, have divided between them the
possession of the island. These two nations differ
entirely in their religions, language and manners."
29. The major pacts were the Bandaranaike-Chelvanayagam
Pact of 1957 and the Senanayake-Chelvanayagam Pact of
1965.
30. The Vaddukkoddai Declaration of 1976 marks a clean
rupture from any further attempts by the Tamil
leadership to negotiate a dual state. The Declaration
calls upon all Tamils to work for the sovereignty of
Tamil Eelam.
31. Note that some of the colonizers were actually
"break-away" colonizers - people who had rejected
their original sovereign in favor of self-rule in the
"former" colony.
KAREN PARKER, J.D.
STATEMENT OF INTERNATIONAL EDUCATIONAL DEVELOPMENT/
HUMANITARIAN LAW PROJECT
In our work on our annual review of armed conflicts (Armed
Conflicts Around the World: A Country by Country Review now being
published by the Parliamentary Human Rights Group) we have found
that many of the 34 full blown wars and 20 near-wars involve the
use and abuse of religion for political purposes.
This is true in
the wars in Afghanistan, Armenia/Azerbaijan, Bosnia, Burma,
Burundi, Chechnya, Croatia, Cyprus, Georgia, Iran, Israeli
Occupied Territories and Southern Lebanon, Kashmir, Mexico,
Moluccas, Rwanda, Somalia, Sri Lanka, Sudan, Tajikistan, Tibet,
Uganda and in the near wars and violent social unrest in Algeria,
China (the Uigars), India, Kosova, Pakistan, Phillipines. The
reports of the special rapporteur (E/CN.4/1997/91 and Add.1) cite
isolated incidents in many of these countries with no discussion
of the underlying wars and the political manipulation of religion
as part of that war.
One example of the manipulation of religion as part of a
larger agenda is in a situation not addressed by the rapporteur -
- the struggle of the Moluccan people to uphold the rights given
them in the Round Table Conference Agreements of 1949. The
Moluccan people have resisted Javanese rule since the new
government of Indonesia seized the Republic of South Moluccas in
violation of the 1949 Agreement.
In recent years there has been
an increased effort in the Moluccas to resolve the situation and
a renewed international diplomatic effort by representatives of
the Moluccan people. In response, Indonesian authorities have
been encouraging larger-scale transmigration of Muslim Javanese
into Moluccan areas by granting them special privileges. These
migrants have fomented violence against the Christian Moluccans,
especially in West Kallmantan where churches have been burned and
people killed.
The Javanese Muslims are also trying to disseminate discord
betweeen the Christian Moluccan and the Moslem Moluccan villages
which for centuries have lived peacefully together as fellow
Moluccans with a cultural obligation to live in harmony and a
common aspiration for freedom. The strategy uses economic
privileges given to Muslim Moluccans by the Javanese and, most
ominously, Javanese attacks against the Christian Moluccans as
infidels. A genocidal birth-control policy seeks to limit
Christian Moluccan births also plays into new tensions as
Indonesia seeks to divide and conquer.
In the larger Kashmir-India war, the government of India
seeks to convince the international community that the problem in
Kashmir is Islamic fanaticism supported primarily from outside
Kashmir. Nothing could be farther from the truth-even though
the majority of Kashmiris are Muslim this war is raging because
India refuses, now with 600,000 to 700,000 armed troops, to
implement a succession of Security Council resolutions
establishing a process for determination of the status of Jammu
and Kashmir based on the free expression of the Kashmiri people
in a United Nations administered plebiscite.
Jammu and Kashmir is
not a state of India but is disputed territory. Attempts by India
to encourage non-Muslim factions against Muslim Kashmiris have
not effected the underlying question. The political leadership of
the Muslim and non-Muslim Kashmiris is the All Parties Hurriyet
Conference, which in its recent reorganization established a 21-
member council in Jammu with many non-Muslim leaders including
its president Karan Singh. Three leaders of the Pandit community
will be part of a further expansion of this council.
IED/HLP is pleased with the new emphasis in the United
States government that this long conflict be resolved as well as
the offer of the new Secretary General to mediate. This offer
should be strongly supported by the Commission on Human Rights,
taking into account that representatives chosen by the Kashmiri
people should participate in all negotiations.
We also wish to draw to the Commission's attention a bill
before the United States Congress addressing violations of
freedom of religion in China, including manipulation of religion
by Chinese authorities in Tibet. Clearly, the situation in
Chinese-occupied Tibet can not be understood outside the context
of Tibetan religion and culture and the role of His Holiness the
Dalai Lama. In that context, the Chinese policies in Tibet must
be considered ethnocidal. We hope other governments and UN bodies
will follow the example of this proposed legislation which seeks
to deny travel documents and any government funds to the
government's "parallel" organizations that usurp the legitimate
religious leaders and associations.
IED/HLP is convinced that the work of the Special Rapporteur
could be strengthened by analysis of the context of many
situations of religious intolerance and by alerting the
international community when situations are leading to war.
MOLUCCAN POLITICAL PRISONERS: PRISONERS OF CONSCIENCE
DOCUMENT - INDONESIA: RELEASE JOHAN TETERISSA AND OTHER PRISONERS OF CONSCIENCE IN INDONESIA
AMNESTY INTERNATIONAL
PUBLIC STATEMENT
Index: ASA 21/023/2012
29 June 2012
Indonesia: Release Johan Teterissa and other prisoners of conscience in Indonesia
Five years since Johan Teterissa was arrested for his part in a peaceful demonstration, Amnesty International reiterates longstanding calls to the Indonesian authorities to immediately and unconditionally release him and all other prisoners of conscience in Indonesia.
Johan Teterissa was arrested on 29 June 2007 after he and 22 other activists took part in a peaceful demonstration in front of President Susilo Bambang Yudhoyono, who was attending a government organized ceremony in the city of Ambon, the capital of Maluku province. During the ceremony, Johan Teterissa led other activists – most of whom were teachers or farmers – onto the field and performed a traditional war dance in front of the President. At the end of the dance the activists unfurled the “Benang Raja” – a banned regional flag.
The police and presidential guards responded by escorting Johan Teterissa and 21 of the activists from the field, punching them and beating them with rifle butts once they were out of sight of the President. The 22 activists were then tortured by police – including officers from the anti-terrorist unit Detachment-88 (Densus-88) – during their detention and interrogation. They were beaten, forced to crawl on their stomachs over hot asphalt, whipped with electric cables and had billiard balls forced into their mouths. Five years on, no independent investigation has been carried out into the allegations of torture and none of the police officers was ever held to account.
Amnesty International calls on the Indonesian authorities to conduct an effective and independent investigation into the allegations of human rights violations, including torture, by the security forces against Johan Teterissa and the other activists, and to bring those responsible to justice in fair trials.
Amnesty International is concerned that Johan Teterissa does not have adequate access to clean drinking water at Madiun prison in East Java, where he is being held. Furthermore, there are credible reports that the prison authorities are limiting the amount of water available to him and other prisoners for bathing. The authorities must ensure that prison conditions meet standards provided for in Indonesian law and the UN Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners.
Johan Teterissa and the other activists were eventually charged with “rebellion” (makar) under Articles 106 and 110 of the Indonesian Criminal Code – laws which are often used by the Indonesian authorities to imprison peaceful political activists. Johan Teterissa was initially sentenced to life imprisonment; however, this was reduced on appeal to 15 years. The 21 other activists were sentenced to between seven and 20 years’ imprisonment. A twenty-third activist was arrested in June 2008 and was sentenced to four years’ imprisonment in March 2009.
Amnesty International calls on the Indonesian authorities to repeal or else amend Articles 106 and 110 of the Criminal Code so that these articles are no longer used to criminalize freedom of expression.
In November 2008 the UN Working Group on Arbitrary Detention (WGAD) declared Johan Teterissa’s detention to be arbitrary on the grounds that he was imprisoned for the exercise of his rights to freedom of expression and peaceful assembly – Opinion No. 41/2008 (Indonesia). These rights are guaranteed in the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), to which Indonesia is a state party, and in the Indonesian Constitution. The WGAD also found Johan Teterissa’s detention to be arbitrary because he had been subjected to an unfair trial. Article 14 of the ICCPR guarantees the right to a fair and public hearing by a competent, independent and impartial tribunal established by law.
Amnesty International takes no position whatsoever on the political status of any province of Indonesia, including calls for independence. However the organization believes that the right to freedom of expression includes the right to peacefully advocate referendums, independence or any other political solutions that do not involve incitement to discrimination, hostility or violence.
The ICCPR and the Indonesian Constitution guarantee the rights to freedom of expression, opinion, association and peaceful assembly. While the Indonesian government has the duty and the right to maintain public order, it must ensure that any restrictions to freedoms of expression and peaceful assembly are no more than is permitted under international human rights law.
Indonesian:
Peta dari Penjara dengan Tahanan Politik di Indonesia
Urutan Presiden Indonesia disesuaikan dengan program pemerintah yang telah terbentuk dari kepemimpinan Presiden pertama, yaitu: Ir Soekarno. Jadi
demonstrasi, yang telah kita lakukan di Australia, sehingga masyarakat
internasional menyadari situasi politik yang telah dilakukan oleh
pemerintah Islam Jawa / Indonesia.
Pada
peta ini adalah tempat di mana pejuang politik bangsa Maluku dan
orang-orang Papua Barat disiksa di luar batas manusia oleh polisi dan
militer sebagai kewajiban negara bahwa itu adalah perintah dari
Pemerintah Indonesia di Jakarta, di mana sudah merupakan besar tanggung
jawab untuk Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden Indonesia, karena
Indonesia merupakan tugas dari Presiden memegang kekuasaan atas militer,
TNI-AL, TNI-AU, dan ditambah dengan Polri. Kejahatan
Pemerintah Indonesia sejak awal berdirinya Republik Indonesia dapat
dilihat dari isu-isu hak-hak dasar kemanusiaan dalam sejarah bangsa
terjadi sesuai dengan hukum internasional yang berlaku, lihat pada link
Karen Parker di bawah, yaitu Maluku memiliki beberapa pihaknya sudah
dalam presentasi untuk PBB: http://www.guidetoaction.org/Parker/selfdet.html Presentasi pada Konferensi Internasional Pertama tentang Hak Penentuan Nasib Sendiri PBB Jenewa Agustus 2000
DEFINISI DIRI-PENENTUAN
Hak untuk menentukan nasib sendiri, prinsip dasar hukum hak asasi
manusia,
(1) merupakan hak individu dan kolektif untuk "bebas menentukan
status politik dan ... [untuk] bebas mengejar ... pembangunan ekonomi,
sosial dan budaya."
(2) Prinsip penentuan nasib sendiri umumnya terkait dengan proses
de-kolonisasi yang terjadi setelah diberlakukannya Piagam PBB 1945.
(3) Tentu saja, kewajiban untuk menghormati prinsip penentuan nasib
sendiri adalah fitur yang menonjol dari Piagam, muncul, antara lain,
baik dalam Pembukaan Piagam dan dalam Pasal 1.
Mahkamah Keadilan Internasional mengacu pada hak untuk menentukan nasib
sendiri sebagai hak yang dimiliki oleh orang-orang bukan hak yang
dimiliki oleh pemerintah saja.
(4) Dua penting PBB studi tentang hak untuk menentukan nasib sendiri
ditetapkan faktor dari orang-orang yang menimbulkan kepemilikan hak
untuk menentukan nasib sendiri: sejarah kemerdekaan atau pemerintahan
sendiri dalam wilayah diidentifikasi, budaya yang berbeda , dan kemauan
dan kemampuan untuk mendapatkan kembali pemerintahan sendiri.
(5)Hak untuk menentukan nasib sendiri adalah disangkal norma jus cogens.
(6) Jus cogens norma adalah aturan tertinggi hukum internasional dan mereka harus benar-benar dipatuhi setiap saat.
Kedua Pengadilan Keadilan Internasional dan Komisi Inter-Amerika
tentang Hak Asasi Manusia dari Organisasi Negara Amerika telah
memutuskan pada kasus dengan cara yang mendukung pandangan bahwa prinsip
penentuan nasib sendiri juga memiliki status hukum omnes erga.
(7 )
Istilah "erga omnes" berarti "mengalir untuk semua."
Dengan demikian, ergas omnes kewajiban Negara terutang kepada
masyarakat internasional secara keseluruhan: ketika sebuah prinsip
mencapai status erga omnes sisa masyarakat internasional memiliki
kewajiban wajib untuk menghormati dalam segala situasi dalam hubungan
mereka satu sama lain .
Sayangnya, ketika kita meninjau situasi menyerukan prinsip penentuan
nasib sendiri, kita menemukan apa yang kita harus memanggil politik
penghindaran: prinsip penentuan nasib sendiri telah direduksi menjadi
senjata retorika politik.
Masyarakat internasional, oleh karena itu, telah meninggalkan
orang-orang yang memiliki klaim dengan prinsip penentuan nasib sendiri.
Kita harus bersikeras bahwa alamat masyarakat internasional situasi
menyerukan hak untuk menentukan nasib sendiri dalam cara, benar hukum. AMANAT dekolonisasi
Sebagai akibat dari mandat de-kolonisasi, dua jenis situasi muncul:
situasi yang saya sebut "sempurna de-kolonisasi" dan orang-orang yang
saya sebut "tidak sempurna de-kolonisasi".
Prinsip penentuan nasib sendiri muncul dalam proses de-kolonisasi
karena dalam rezim kolonial rakyat daerah tersebut tidak mengendalikan
pemerintahan mereka sendiri. Dalam situasi seperti ini ada satu lagi berdaulat, dan tidak sah, menjalankan kontrol. De-kolonisasi, kemudian, adalah obat untuk mengatasi kebutuhan hukum untuk menghapus kekuasaan tidak sah. (P) Sempurna de-kolonisasi A..
Dalam proses de-kolonisasi yang sempurna kekuasaan kolonial daun dan
mengembalikan kedaulatan penuh kepada rakyat di wilayah tersebut.
Dalam situasi ini, orang-orang memiliki Negara sendiri dan memiliki
kendali penuh urusan kontemporer mereka, dengan kursi di PBB dan semua
atribut lainnya dari suatu Negara dalam hukum internasional.
Ada baik bagian komponen tidak ada Negara yang akan memiliki hak untuk
menentukan nasib sendiri dalam dirinya sendiri atau jika ada bagian
komponen tersebut, Negara telah secara sukarela menjadi negara
multi-kelompok kerja. Beberapa de-kolonisasi yang terjadi setelah Piagam PBB dapat dipandang sebagai "sempurna."
Ini bukan untuk menyatakan bahwa semua Negara yang Negara kolonial
mantan memiliki "sempurna" Pemerintah saat ini atau bahwa pemerintah
tertentu di salah satu Negara menghormati sepenuhnya hak asasi manusia. Namun, isu penentuan nasib sendiri tidak lagi muncul di negara-negara.
B. Imperfect penjajahan.
Imperfect de-kolonisasi terjadi ketika ada tidak adanya restorasi
pemerintahan penuh kepada orang-orang yang memiliki hak untuk menentukan
nasib sendiri. Ada beberapa jenis yang tidak sempurna de-kolonisasi.
Dalam satu skenario, Negara terpisah menaklukkan kekuatan kolonial
digabung menjadi apa kolonial kekuasaan sering disebut sebagai negara
"kesatuan" - semacam kawin paksa antara Amerika sebelumnya terpisah dua
atau lebih. Orang-orang ini biasanya Negara memiliki bahasa yang berbeda, etnis, agama atau budaya.
Pada berakhirnya rezim kolonial, kekuasaan kolonial sederhana dapat
menyerahkan kekuasaan kepada salah satu kelompok dan meninggalkan
kelompok lain atau kelompok pada dasarnya terjebak ke dalam Negara
de-kolonisasi baru. Kelompok terperangkap mungkin menolak hal ini, dan mungkin berusaha untuk mengembalikan pra-kolonial kedaulatannya.
Dalam skenario lain, kelompok-kelompok yang berbeda dapat memutuskan
untuk melanjutkan sebagai negara kesatuan, tetapi dengan perjanjian
(biasanya melalui instrumen de-kolonisasi atau nasional konstitusi)
bahwa jika tidak berhasil, maka komponen akan kembali ke pra mereka
-kolonial status unit independen.
Ini adalah apa yang saya sebut "kita akan mencobanya" pencabutan
kemerdekaan penuh dengan biasanya kelompok kecil atau kelompok dengan
hak yang jelas op-out (posisi jatuh kembali) jika "kesatuan" sistem
dibentuk oleh kekuasaan kolonial gagal untuk membayar mereka hak penuh. Namun, ketika sebuah bagian komponen berusaha untuk opt-out, kekuatan yang dominan menolak.
Dalam skenario lain belum, satu Negara paksa mungkin lampiran orang
kolonial, tapi baik masyarakat dilakukan, masyarakat internasional atau
keduanya tidak mengakui ini sebagai aneksasi hukum.
Masyarakat internasional mungkin bahkan diamanatkan prosedur tertentu,
yang belum direalisasi, di mana orang-orang yang berpengaruh untuk
menunjukkan pilihan mereka mengenai diri terminasi hak.
Dalam skenario keempat, mungkin ada situasi di mana sebagian komponen
kecil dari sebuah negara kolonial-diciptakan "kesatuan" sepakat untuk
melanjutkan Negara kesatuan tapi tanpa tertentu "op-out" perjanjian
ditandatangani.
Sebaliknya, ada baik secara lisan maupun negosiasi, perjanjian tertulis
tentang bagaimana hak-hak yang lebih kecil (atau dalam beberapa situasi
yang lebih lemah) kelompok akan dilindungi di Negara gabungan.
Namun, kelompok yang lebih kecil atau lebih lemah kemudian mengalami
kurtailmen berat hak mereka selama periode waktu yang panjang oleh
kelompok dominan dan mungkin kehilangan kemampuan untuk melindungi hak
dengan cara damai. STUDI KASUS
Burma.
(8)Saya akan mulai dengan proses de-kolonisasi Inggris di Burma.
Konstitusi tahun 1947 Burma, yang menjadi konstitusi mengikuti proses
de-kolonisasi, memiliki "opt-out" klausul mengenai banyak orang yang
berbeda dari wilayah yang diduduki oleh Inggris.
Dengan kata lain, kelompok yang dimasukkan di bawah kekuasaan
"kesatuan" oleh Inggris akan memiliki hak untuk mengatakan bahwa mereka
tidak ingin terus menjadi bersatu dengan kelompok lain di pasca-kolonial
Burma.
Ini adalah klasik "kami akan memberikan ini mencoba" skenario, dengan
perlindungan instrumen hukum untuk menegakkan "memilih keluar" hak.
Konstitusi 1947 di Burma memiliki masa percobaan sepuluh tahun,
sehingga secara teoritis kelompok tidak bisa memilih keluar sampai 1957.
Namun, dalam tahun-tahun antara 1947 dan 1957, Burma, sebagian besar di
daerah itu, merebut kekuasaan dan etnis lainnya yang merupakan bagian
dari persatuan Burma mulai menderita. Lebih buruk lagi, pemerintah Burma secara sepihak memadamkan opt-out hak berdasarkan UUD 1947.
Banyak orang berpikir bahwa situasi hak asasi manusia di Burma, dikaji
serius oleh Komisi PBB untuk Hak Asasi Manusia selama bertahun-tahun,
berkaitan dengan Burman
(9) rezim militer terhadap Daw Aung Sang Suu Kyi
etnis partai Burman dan pendukungnya.
Sayangnya, situasi jauh lebih kompleks dari itu - sebagian besar dari
pelanggaran hak asasi manusia yang lebih serius telah terjadi dalam
konteks konflik antara tentara Burman melawan pasukan militer dari etnis
lain yang diberi hak untuk membagi dalam 1.947 Konstitusi: Karen, yang
Karenni, Mon, Shan, dan lain-lain.
Bahkan beberapa dari mereka kelompok melemparkan mata curiga pada pihak
Burman politik: mereka mengatakan bahwa bahkan jika partai Daw Aung San
Sui Kyi mengambil alih, hubungan antara pihak Burman dasarnya dan etnis
lainnya tidak pasti.
Secara khusus, beberapa kelompok tidak yakin apakah mereka kemudian
akan dapat melaksanakan op-out mereka hak yang diberikan di bawah UUD
1947. Maluku.
(10)Situasi kedua adalah bahwa dari Maluku. Situasi ini muncul di wilayah Hindia Belanda.
Saya menggunakan istilah ketimbang Indonesia karena Indonesia istilah
istilah yang diciptakan pada saat proses de-kolonisasi - tidak ada
Negara yang disebut Indonesia sebelum 1949.
Sedangkan Inggris terutama di belakang layar selama proses konstitusi
1947 di Burma,, pemerintah Belanda memiliki tangan mereka sangat berat
sepanjang proses de-kolonisasi Hindia Belanda.
Belanda, sebagaimana telah Inggris, digabung negara terkait banyak dan
menempatkan mereka di bawah kolonial yang ditetapkan sistem "kesatuan"
negara - di bawah satu pemerintahan.
Pada saat de-kolonisasi ada kesulitan besar dalam mencapai kesepakatan
mengenai apa yang harus terjadi untuk semua orang negara kepulauan
sebelumnya independen.
Kelompok terkuat dan paling padat penduduknya adalah orang Jawa,
berpusat di Jakarta meskipun juga terletak di tempat lain di pulau. Orang Jawa menjadi daya tawar.
Jadi melalui Belanda dan Jawa dan kerjasama dengan Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada waktu itu, Indonesia akan datang menjadi ada.
Instrumen de-kolonisasi, yang disebut Perjanjian Konferensi Meja Bundar
tahun 1949, adalah antara Belanda, orang Jawa - kepemimpinan Indonesia
dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
(11) Negara baru yang akan terbentuk dari Hindia Belanda itu harus
disebut Republik Indonesia Serikat dan akan terdiri dari pulau-pulau
Jawa dikelompokkan sebagai "Republik Indonesia" dan co-sama "republik . " Maluku adalah menjadi bagian dari Republik Indonesia Timur.
Perjanjian Meja Bundar Konferensi memiliki beberapa "opt-out" ketentuan
menawarkan ketentuan untuk pilihan baik internal maupun eksternal.
Sebagai contoh, populasi wilayah itu harus diberi plebisit untuk
menentukan
(12) "apakah mereka akan membentuk sebuah negara komponen
terpisah." Kedua "opt-out" ketentuan diperbolehkan menyatakan bahwa
tidak meratifikasi konstitusi untuk bernegosiasi dengan baik Amerika
Serikat Indonesia atau Belanda untuk "hubungan khusus."
(13) Dengan demikian, instrumen de-kolonisasi sendiri untuk Hindia Belanda memberikan Maluku hak hukum untuk memisahkan diri.
Segera setelah membalik kekuasaan, orang Jawa mulai paksamenggabungkan
bagian komponen ke dalam Republik Indonesia (kubu Jawa) ketimbang
mengimplementasikan plebisit. Selain itu, orang Jawa membuat jelas bahwa mereka tidak akan membiarkan bagian komponen untuk "opt-out" seluruhnya. Dengan tekanan Jawa meningkat di Maluku, Maluku menanggapi dengan menerapkan Pasal 2.2: pada tanggal 25 April 1950, kepemimpinan Maluku menyatakan negara merdeka dari Republik Maluku Selatan. Namun, orang Jawa sangat menentang hal ini, dan dirinya sendiri menyerbu Maluku.
Sayangnya, pada saat yang sama, pasukan Maluku serius habis karena
Belanda telah diangkut 4.000 tentara Maluku dan keluarga mereka ke
Belanda. Pasukan Maluku telah menjadi bagian dari pasukan Belanda di Hindia Timur (KNIL) dan membawanya ke Belanda. Orang-orang Maluku yang tersisa tanpa pembela melawan tentara Jawa. Pada saat itu, Komisi PBB untuk Indonesia mengambil kasus Maluku. Tapi meskipun demikian, menjadi jelas bahwa politik PBB tampak berubah.
Sulit untuk menilai apa yang terjadi, sebagian karena, seperti yang
saya temukan dalam meneliti Dewan Keamanan dan Komisi PBB untuk
Indonesia masa itu, sebagian besar dokumen masih diembargo. Para peneliti bahkan tidak bisa melihat mereka.
Apa yang jelas adalah bahwa kesepakatan itu dibuat mungkin di belakang
layar, karena pada akhirnya, PBB tidak bersikeras pada penghapusan orang
Jawa dari Maluku dan Komisi untuk Indonesia diam-diam lagi ada di
sekitar 1955.
Seperti yang Anda ketahui, banyak bagian-bagian komponen lain dari
pangsa Timur mantan Hindia Belanda dengan Maluku yang berkelanjutan (dan
memang memburuk) periode dengan serangan merajalela dan kekerasan oleh
tentara Indonesia dan pemerintah-didukung kelompok paramiliter serta
pelanggaran hak asasi manusia terus. Ini benar-benar krisis penentuan nasib sendiri, terutama mempengaruhi Maluku, Aceh, dan Papua Barat. Kashmir.
(14)Situasi berikutnya saya ingin menyajikan adalah Kashmir - sebuah "sempurna" de-kolonisasi proses di mana PBB juga terlibat. PBB bunga dalam situasi Kashmir dimulai pada 1947-1948 selama proses de-kolonisasi Kerajaan Inggris di Asia selatan.
Para pemimpin dari apa yang menjadi Pakistan dan India mencapai
kesepakatan dengan Inggris bahwa rakyat Kashmir akan memutuskan
disposisi mereka sendiri.
Perdana Menteri Nehru (India) telah pergi pada catatan publik
mengatakan bahwa disposisi dari orang-orang Kashmir akan sampai kepada
mereka.
(15) Karena banyak gejolak di daerah, termasuk pemberontakan penuh di
Kashmir terhadap maharajah Inggris yang ditetapkan, PBB mulai resmi
untuk mengatasi Kashmir pada tahun 1948.
Tahun itu, Dewan Keamanan PBB membentuk Komisi India dan Pakistan,
yang, di samping Dewan Keamanan itu sendiri, mengadopsi resolusi yang
mewajibkan bahwa disposisi akhir dari Kashmir adalah menjadi melalui
plebisit dilakukan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
(16)Pemerintah India didukung janji sebelumnya bahwa orang-orang Kashmir
akan menentukan masa depan Kashmir ketika didukung plebisit di bawah
naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dewan Keamanan resolusi yang dikutip di atas menunjukkan tindakan
Serikat Bangsa untuk menyelesaikan pertanyaan Kashmir semuanya didukung
oleh India seperti resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Komisi untuk
India dan Pakistan. Misalnya, pada tanggal 5 Januari 1949, India setuju untuk resolusi Komisi menyatakan:
Pertanyaan tentang aksesi Negara Bagian Jammu dan Kashmir ke India atau
Pakistan akan diputuskan melalui metode demokratis plebisit bebas dan
tidak memihak.
(17)Namun, sebelum seperti plebisit bisa mengambil tempat, angkatan
bersenjata India menyita banyak Kashmir dengan dalih datang untuk
membantu maharajah Inggris-yang berusaha untuk memadamkan pemberontakan
Kashmir terhadap dirinya. Maharajah memperoleh bantuan militer India dalam pertukaran dengan Instrumen Aksesi memberikan Kashmir ke India.
(18) Sejak saat itu, India telah mempertahankan kendali atas apa yang
harus dipanggil India-Kashmir yang diduduki, dan terus mengacu Kashmir
sebagai bagian integral dari India. India mendukung pandangan ini sebagian karena India yang dikelola pemilu yang terjadi di Kashmir.
Namun, Dewan Keamanan PBB telah berulang kali menolak argumen ini,
dengan menyatakan bahwa tindakan sepihak tersebut tidak merupakan
latihan bebas dari kehendak rakyat Kashmir: hanya plebisit yang
dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa akan berlaku.
(19)Sayangnya, plebisit masih belum terjadi.
Pada pertengahan 1950-an, Perang Dingin diperdalam dan aliansi di
wilayah itu berada di bawah lingkungan yang berbeda dari pengaruh dalam
Perang Dingin.
The Dewan Keamanan PBB dan Komisi telah membentuk pemerintahan plebisit
di bawah wewenang presiden Dewan Keamanan, dan keduanya langsung dengan
Presiden Dewan Keamanan dan Komisi India dan Pakistan, serangkaian
administrator plebisit tidak mampu mengamankan situasi di lapangan
sehingga plebisit bisa terjadi. Administrator plebisit lalu selesai masa jabatannya di suatu tempat antara 1955-1956. Hari ini kita menemukan bahwa disposisi Kashmir belum diputuskan secara hukum.
Ini bukan merupakan bagian integral dari negara manapun, namun kita
memiliki kegagalan hari ini realisasi ekspresi penentuan nasib sendiri
rakyat Kashmir.
Orang-orang Kashmir yang terlibat dalam perang brutal di Jammu dan
Kashmir - apa yang saya sebut Perang Kashmiri - yang 5-700,000 pasukan
India yang hadir di daerah melakukan aksi militer terhadap warga sipil
dan pasukan militer Kashmir sama.
Dalam perjalanan itu konflik bersenjata, pasukan India telah terlibat
dalam pelanggaran berat Konvensi Jenewa dan hukum umum dan kebiasaan
perang.
Perkosaan, penghilangan, eksekusi, penyiksaan dan penghilangan yang
terkait dengan konflik hampir setiap hari-peristiwa di India - Kashmir
yang diduduki.
Bahkan tanpa pengakuan PBB hak Kashmir untuk menentukan nasib sendiri,
klaim Kashmir ini sangat kuat dan membuat sebuah studi kasus yang baik
dari perspektif ini. Daerah memiliki sejarah panjang pemerintahan sendiri pra-kencan masa kolonial.
(20) Wilayah Kashmir telah jelas selama berabad-abad.
(21) orang Kashmir berbicara Kashmiri, yang, sambil menikmati Sanskerta
sebagai bahasa akar seperti halnya semua bahasa Indo-Eropa, jelas
bahasa terpisah dari kedua Hindi dan Urdu.
(22) Budaya Kashmir adalah sama berbeda dari budaya lain di daerah
dalam segala hal - cerita rakyat, pakaian, tradisi, dan masakan. Bahkan artefak setiap hari seperti memasak, perhiasan pot memiliki gaya yang unik Kashmir.
(23)Paling penting pada tuntutan untuk menentukan nasib sendiri,
orang-orang Kashmir memiliki aspirasi umum arus kuat untuk pembentukan
kembali kekuasaan sendiri. Orang-orang Kashmir menolak Inggris, dan mempertahankan tingkat otonomi seluruh pemerintahan Inggris.
Pada tahun 1931 sebuah pemberontakan utama Kashmir melawan Inggris dan
maharajah Inggris yang ditetapkan secara brutal meletakkan. Tapi "Quit Kashmir" kampanye melawan maharajah terus ke 1946, ketika gerakan Azad Kashmir mendapatkan momentum.
Selama pecahnya British India, pasukan militer Azad mulai serangan
bersenjata terhadap pasukan maharajah ini - mendorong aksesi ke India
dalam pertukaran untuk perlindungan militer India.
(24) Resistensi terhadap India terus berlanjut selama masa pendudukan
India, dengan pemberontakan besar pada tahun 1953, 1964 dan terus
berlanjut pada dasarnya sejak tahun 1988.
Sedangkan ketahanan terhadap India telah memainkan peran utama dalam
peristiwa Kashmir, ada juga memandang ke depan kepemimpinan politik
dengan kemauan yang jelas dan kemampuan untuk melanjutkan pemerintahan
dari Kashmir independen. Ada sejumlah partai politik di Kashmir yang telah aktif untuk beberapa waktu, meskipun dengan risiko besar.
Banyak dari para pemimpin partai-partai telah menghabiskan waktu di
penjara India, beberapa selama bertahun-tahun, hanya karena pandangan
politik mereka di Kashmir. Pada tahun 1993 sebagian besar partai politik Kashmir bergabung bersama untuk membentuk Konferensi Semua Pihak-Hurriyet (APHC).
Karena formasi, APHC telah mengirimkan para pemimpin di seluruh Kashmir
dan di seluruh dunia untuk meneruskan dialog, resolusi damai dari
perang Kashmir, dan realisasi resolusi PBB untuk plebisit rakyat
Kashmir.
Para pemimpin dan perwakilan dari APHC telah secara teratur menghadiri
PBB sesi hak asasi manusia, konferensi khusus dan Majelis Umum. Saya juga mendorong orang untuk menyelidiki situasi di Punjab di India juga. Saya kurang ahli situasi di sana.
Namun, sebagai bagian dari proses dekolonisasi, telah ada beberapa
kesepakatan, baik sebelum kiri Inggris, antara kepemimpinan Punjabi,
Inggris dan lain-lain dengan janji-janji dan kesepakatan yang belum
dipenuhi, yang merupakan faktor dalam gangguan dan pertanyaan di Punjab.
Meskipun berbeda dari pertanyaan Kashmir dengan resolusi Dewan Keamanan
yang berbeda dan kewajiban masyarakat internasional untuk melakukan
plebisit di Kashmir, mungkin bahwa resolusi akhir ke kesulitan di Punjab
harus menggabungkan beberapa bentuk penentuan nasib sendiri di wilayah
itu. Tibet.
(25)Saya ingin secara singkat mendiskusikan Tibet. Situasi Tibet merupakan aneksasi pasca-Piagam karena China merebut independen Tibet in1949-1950.
Daripada de-kolonisasi masyarakat internasional dihadapkan dengan penjajahan baru. Untuk Tibet, tentu saja, sekarang masalah ini de-kolonisasi.
Dokumen-dokumen awal dari Perserikatan Bangsa-Bangsa pada pertanyaan
yang menunjukkan hak untuk menentukan nasib sendiri rakyat Tibet: cukup
jelas masyarakat internasional harus mengakui China penyitaan
pasca-Piagam militer sebagai ilegal.
(26) Situasi di Tibet masih belum diselesaikan dan orang-orang Tibet
masih memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri, dan memiliki hak
untuk pemerintahan dan budaya mereka. Sayangnya, China mengirimkan sejumlah besar non-orang Tibet ke Tibet. Daripada pembersihan etnis, Cina terlibat dalam pengenceran etnis. Ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 49 Konvensi Jenewa Keempat.
Di sinilah pemerintah China melakukan sebagian besar kerusakan Tibet
dan budaya mereka, karena di banyak bagian Tibet, Tibet sekarang dalam
minoritas. Ini menjadi situasi yang sangat serius dalam realisasi penentuan nasib sendiri.
Jika Anda berpikir sejenak apa Madame Daes mengatakan dalam makalahnya
tentang jalan tengah penentuan nasib sendiri, di mana ada beberapa
kesepakatan bahwa pertanyaan masyarakat adat tidak harus ditangani dalam
hal kedaulatan mutlak, China berusaha untuk mencairkan Tibet dengan
orang lain , sehingga jika dipaksa ke dalam setiap proses de-kolonisasi
pertanyaan Tibet mungkin dipandang sebagai pertanyaan pribumi daripada
satu melibatkan restorasi penuh kedaulatan.
Ini "trik" yang digunakan di tempat lain oleh pemerintah lain dan telah
terutama merajalela di Maluku dimana pemerintah Indonesia selama
bertahun-tahun mungkin dikirim Jawa "pemukim" ke wilayah Maluku. Sri Lanka.
(27). Situasi di Sri Lanka, selama bertahun-tahun sekarang dilanda konflik
bersenjata antara pemerintah Sinhala-dikendalikan dan orang-orang Tamil,
harus dipahami dalam hal proses "sempurna" de-kolonisasi oleh Inggris.
Sekali lagi, dua negara yang berbeda - dalam hal ini bangsa Tamil dan
Sinhala bangsa - yang digabung di bawah pemerintahan "kesatuan" oleh
penjajah. The Sinhala dan orang-orang Tamil di pulau Ceylon adalah sebagai berbeda sebagai mengatakan Finlandia dan Italia. Para penjajah memahami hal ini dengan jelas.
Kekuatan kolonial pertama di pulau, Portugal, hanya mampu menaklukkan
negara Tamil lebih dari 100 tahun setelah menaklukkan Sinhala satu. Pada 1621 Portugis merebut Tamil raja Sankili dan membunuhnya.
Belanda mengambil alih pulau dari Portugis, dan tampaknya mampu
melakukan beberapa pemerintahan longgar atas wilayah Tamil tetapi
kebanyakan memerintah dari tanah Sinhala. Ketika Inggris datang, mereka mampu membangun aturan kesatuan.
Ini bukan tanpa protes dari administrator sendiri Inggris awal, sebagai
yang pertama dari mereka mengatakan, dan saya parafrase di sini, "Saya
tidak tahu bagaimana kita akan melakukan hal ini - orang-orang ini
benar-benar berbeda", mengakui bahwa dalam kasus ini, pernikahan paksa
pemerintahan kesatuan tidak akan bekerja. (28) Dan pada kenyataannya selama pemerintahan Inggris, dua orang yang
mungkin kurang digabung bersama-sama daripada di daerah lain di mana
Inggris menciptakan "kesatuan" menyatakan: ada jelas pemerintahan
mengenali sifat yang sangat berbeda dari orang-orang ini.
Dalam proses de-kolonisasi di Sri Lanka-, ada usaha antara Tamil dan
Sinhala kepemimpinan untuk mencoba sebuah negara pasca-kolonial kesatuan
meskipun situasi bersejarah kedua negara.
Dalam dua konstitusi pertama, ada kesepakatan antara orang-orang
Sinhala mayoritas dan Tamil numerik sedikit orang untuk struktur
pemerintah yang akan menjamin bahwa orang-orang Tamil tidak akan menjadi
fatal tenggelam di bawah Sinhala tersebut. Jadi ada upaya untuk menghindari perendaman dalam bahasa Konstitusi 1947. Sebelum tinta kering, pimpinan Sinhala mulai melanggar ketentuan.
Ada sejumlah perjanjian berikutnya antara Tamil dan Sinhala
kepemimpinan untuk negosiasi ulang di berbagai kesempatan, mulai bahkan
sedini tahun 1950 dan 1951.
Namun pakta utama antara Tamil kepemimpinan dan kepemimpinan Sinhala
yang memungkinkan hak-hak rakyat Tamil dan hak-hak rakyat Sinhala yang
akan dual dihormati di sebuah pulau bersama-sama dijalankan juga gagal.
(29) Dalam mengevaluasi situasi ini maka, dalam terang hak penentuan
nasib sendiri, kita dapat melihat bahwa ini adalah "tidak sempurna"
de-kolonisasi proses.
Upaya untuk berunding dan negosiasi ulang untuk mencoba untuk menjaga
cara terbuka untuk menjamin hak-hak bagi rakyat Tamil gagal selama
hampir 30 tahun, di mana titik pimpinan gabungan Tamil mengatakan bahwa
"kesatuan" aturan tidak lagi menjadi option.30 Sejak 1982, perang telah
terjadi membela bahwa hak rakyat Tamil untuk menentukan nasib sendiri. Sahara Barat.
Satu terakhir situasi yang saya ingin membawa, bahwa Sahara Barat,
membawa sebuah hal yang amat penting bahwa saya tidak akan mampu
sepenuhnya untuk menjelaskan di sini, tapi itu tetap membantu kita dalam
beberapa perbandingan antara "masyarakat" - orang dengan hak hukum
untuk penuh kedaulatan - dan "masyarakat adat" - orang dengan hak untuk
memerintah diri dan terminasi lokal internal tetapi tidak kedaulatan
penuh.
Mahkamah Keadilan Internasional, dalam keputusannya pada Sahara Barat
pada tahun 1975, memutuskan bahwa jika ada tanah yang pada kenyataannya
tidak ada yang pernah diklaim, dibuka untuk diperebutkan.
Tanah tersebut disebut "terra nullius" - lahan kosong. Tapi jika tanah setiap memiliki populasi di atasnya, tanah milik penduduk itu dan tidak terbuka untuk diperebutkan.
Pertanyaan ini muncul dalam proses de-kolonisasi Barat Sahara Maroko
karena mencoba mengklaim bahwa sebelum menjadi koloni Spanyol, Sahara
Barat telah "kosong" kecuali untuk Maroko nomaden beberapa. Pengadilan, bagaimanapun, menemukan Saharans untuk menjadi orang yang berbeda yang secara historis tanah yang dihuni.
Ketika kita menyadari bahwa masyarakat internasional, bagaimanapun,
tidak mengharuskan para penjajah dari tanah-tanah rakyat Amerika dan
Kelautan untuk mengembalikan lahan tersebut dengan kedaulatan penuh,
tampaknya ada pelanggaran yang jelas dari prinsip yang diucapkan oleh
Pengadilan di Barat sahara kasus.
Kenyataan yang menyedihkan adalah, bahwa karena prinsip hukum biasanya
disebut sebagai "kemustahilan" - orang-orang Eropa tidak diwajibkan
untuk menyerahkan tanah dan kekuasaan kembali ke Indian Amerika dan
masyarakat Oceanic. Ketidakmungkinan adalah situasi itu sebagian terkait dengan angka yang jelas dari penjajah,
(31)sebagian untuk skala "kolonial" perusahaan, dan sebagian gagasan
dirasakan bahwa Masyarakat Adat tidak mampu mengambil alih pemerintahan
dari negara-negara di negara mereka saat ini. Namun faktor nomor adalah akibat langsung dari pembunuhan besar-besaran orang-orang asli oleh penjajah dan tentara mereka.
Jadi, pada kenyataannya, masyarakat internasional dihargai genosida
dengan membiarkan para penjajah dan pewaris penjajah tetap dalam kontrol
penuh.
Salah satu keajaiban jika saat ini skema kedua pembersihan etnis dan
etnis pengenceran hasil hari ini merajalela dari beberapa harapan yang
dirasakan oleh para pelaku bahwa doktrin "ketidakmungkinan" dapat
diterapkan kepada mereka dan mereka akan menjadi penguasa tunggal. FINAL KETERANGAN
Sebagian besar dari Anda menyadari fakta-fakta yang ditetapkan di atas
garis-situasi di mana orang memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri
tetapi belum menyadarinya. Di negara-negara ada konflik - saya tidak hanya berarti yang lisan tapi yang bersenjata.
Sayangnya, banyak dari negara-negara yang terlibat dalam mencoba untuk
militer melenyapkan masyarakat dengan berlaku penentuan nasib sendiri
klaim mencoba untuk mengurangi konflik dengan "terorisme". Jadi tergantung pada sisi mana pagar Anda berada di, kelompok A adalah baik teroris atau pejuang kemerdekaan. Beberapa teman rezim-rezim 'baik menyetujui atau secara aktif mendukung pernyataan yang keliru.
Terlepas dari lumpur-slinging, tragedi adalah bahwa negara merupakan
pelanggaran terbuka jus cogens dan erga omnes kewajiban untuk membela
prinsip penentuan nasib sendiri.
Dan juga, sangat sedih, tidak cukup banyak orang tahu cukup baik hukum
penentuan nasib sendiri dan hukum konflik bersenjata untuk benar
mengarahkan dialog.
Para pembela penentuan nasib sendiri berada dalam posisi yang sangat rentan, didakwa dengan terorisme.
Para pendukung kelompok berjuang untuk realisasi pembebasan nasional
juga dapat diberi label atau terlalu dibebani oleh undang-undang melawan
terorisme dengan mengorbankan yang sangat serius tidak hanya hak asasi
manusia, tetapi hak-hak di bawah Konvensi Jenewa, perjanjian lainnya dan
hukum adat dari konflik bersenjata. CATATAN Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1The menetapkan bahwa "kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah." Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, GA Res. 217A (III) (1948), Seni. 21, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang berlaku 23 Maret. 1976, 999 UNTS 171, Art.
1, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), yang berlaku, 3 Januari 1976, 999 UNTS 3, Art. 1.
2. ICCPR, Art.1, ICESCR, Art. 1, lihat juga Karen Parker & Lyn Neylon, jus cogens: Compelling Hukum Hak Asasi Manusia, 12 Hastings Int. & Comp.
L. Rev 411, 440 (1989), menggambar pada pembahasan hak untuk menentukan
nasib sendiri di A. Critescu, Hak Penentuan nasib sendiri, UN Doc. E/CN.4/Sub.2/404/Rev. 1, Penjualan PBB No E.80.XIV.3 (1980) dan H. Gros Espiell, Hak Penentuan Nasib Sendiri, UN Doc. E/CN.4/Sub.2/405/Rev.1, Penjualan PBB No E.79.XIV.5 (1980).
3.
Tulisan ini tidak membahas masalah hak untuk menentukan nasib sendiri
Masyarakat Adat dan tidak dimaksudkan untuk menolak aplikasi penentuan
nasib hak Masyarakat Adat. Silakan lihat kertas dari Mme Erica-Irene Daes dalam dokumen ini untuk diskusi Masyarakat Adat dan penentuan nasib sendiri.
4. Sahara Barat Case, 1975 Mahkamah Internasional 12, 31.
5. Gros Espiell, op.cit. dan Critescu, op. cit ..
Critescu mendefinisikan "orang" sebagai menandakan suatu "entitas
sosial yang memiliki identitas yang jelas dan karakteristik sendiri"
(op. cit pada p.. 41) dan menyiratkan "hubungan dengan wilayah" (id.).
6. H. Gros Espiell, op. cit. pada p.
12: "[N] o seseorang dapat menantang fakta bahwa, dalam terang realitas
internasional kontemporer, prinsip penentuan nasib sendiri tentu
memiliki karakter jus cogens." Gros Espiell mengutip banyak referensi dalam dokumen PBB mengacu pada hak untuk menentukan nasib sendiri sebagai jus cogens. Id, pada hlm 11-13..
Lihat juga Konsekuensi Hukum Serikat Kehadiran Lanjutan Afrika Selatan
di Namibia (SWAfrica) 1.971 International Court of Justice 16, 89-90
(Ammoun, J., pendapat terpisah) (mengakui sifat jus cogens penentuan
nasib sendiri); I. Brownlie, Prinsip Hukum Internasional, Publik 83 (3d
ed. 1979) (menyatakan bahwa pejuang yang bertempur untuk realisasi
penentuan nasib sendiri harus diberikan status yang lebih tinggi di
bawah hukum konflik bersenjata akibat penerapan jus cogens dengan
prinsip penentuan nasib sendiri) ; Lihat juga Karen Parker & Lyn
Neylon, op. cit. pada 440-41 (membahas, dengan banyak referensi, penentuan nasib sendiri sebagai jus cogens kanan).
7.
Meskipun tidak menggunakan istilah yang tepat seperti yang terjadi
dalam kasus sebelumnya (Barcelona Traction, Light dan Power Co (Belg. v
Spanyol) tahun 1970 Mahkamah Internasional 3, 32), banyak yang
menganggap bahasa Kasus Nikaragua reflektif dari kedua sebuah jus cogens
dan erga omnes bertugas untuk menghormati prinsip penentuan nasib
sendiri. Lihat Kasus Nikaragua (Nicar. v Amerika Serikat) 1986 International Court of Justice
14. Komisi Inter-Amerika adalah eksplisit mengenai erga omnes tugas dari semua negara untuk menjamin hak-hak sipil dan politik. Inter-Amerika Komisi Hak Asasi Manusia, Organisasi Negara-negara Amerika, Tekan Komunike no. 13/93 (May25, 1993).
8. Silakan juga lihat HAM di Burma, Dengar Pendapat di Burma sebelum Subcomm. Pada Untuk. Ops. Dari Senat Comm, 104 Cong, 1 Sesi (1995) (Pernyataan Karen Parker),.. HAM di Burma, Mendengar di Burma sebelum Subcomm. Urusan Asia dan Pasifik dari Comm House. Untuk on. Urusan, Cong 103. 1 Sesi (1993) (Pernyataan Karen Parker).
9.
Saya menggunakan "Burman" istilah untuk merujuk kepada orang-orang yang
bukan etnis Burman bahwa istilah "Burma" - yang mengacu kepada
orang-orang yang tinggal di Burma yang mungkin berupa Burman atau salah
satu etnis lainnya.
10. Silakan juga melihat Karen Parker, Republik Maluku: The Case for Self-Penentuan, (IED / HLP 1996).
11. PBB Keterlibatan dimulai dengan pembentukan Komite Jasa Baik tentang Masalah Indonesia Dewan Keamanan tahun 1947. Pada tahun 1949 Komite ini berhenti ketika Dewan Keamanan membentuk Komisi PBB untuk Indonesia. Badan-badan ini adalah participators konstan dalam proses de-kolonisasi.
12. Meja Bundar Konferensi Perjanjian, pasal 2.1 dari Persetujuan Ketiga (Ukur Transisi).
13. Idem, Pasal 2.2. Dua "opt-out" langkah-langkah yang dimasukkan di bawah tekanan dari otoritas Belanda.
14. Silakan lihat Karen Parker, The War Kashmiri: Hak Asasi Manusia dan Hukum Kemanusiaan, (IED / HLP 1996).
15.
Sebagai contoh, dalam sebuah siaran radio 1.947 3 November, Pak Nehru
menyatakan: "Kami telah menyatakan bahwa nasib Kashmir pada akhirnya
akan diputuskan oleh rakyatnya Itu janji kita berikan tidak hanya kepada
rakyat Kashmir tetapi untuk dunia.. Kami tidak akan dan tidak bisa
kembali keluar dari itu. "
16. Lihat, khususnya Dewan Keamanan resolusi 39 (1948), 47 (1948), 80 (1950), 91 (1951) dan 96 (1951).
17.
Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Komisi untuk India dan Pakistan,
yang diadopsi pada tanggal 5 Januari 1949, dicetak ulang di UN Doc. S/1196 10 Januari 1949.
18.
Sebuah catatan menarik untuk ini melibatkan ini Instrumen Aksesi,
seharusnya ditandatangani oleh Maharajah Hari Singh dan Lord
Mountbatten, dan dikabarkan akan hilang dari arsip negara bagian India.
Berita laporan menunjukkan bahwa Amerika Serikat, Barat lainnya dan
beberapa negara Arab ingin melihat teks karena pertanyaan serius
validitasnya. Lihat, misalnya, "Instrumen Aksesi India hilang dari arsip negara", PTI Berita (New Delhi), 1 September 1995.
19. Lihat, misalnya, resolusi Dewan Keamanan 122 dari 24 Januari 1957.
India telah mengklaim bahwa orang-orang Kashmir menerima pemisahan ke
India karena Majelis Konstituante Kashmir disetujui pada tahun 1956.
Namun, perakitan yang dipilih oleh India dan tidak memenuhi persyaratan
plebisit sebagaimana dinyatakan dalam Resolusi Dewan Keamanan 122.
Sebagai negara Pelapor Gros Espiell: "A orang di bawah dominasi
kolonial dan asing tidak dapat mengekspresikan akan secara bebas dalam
plebisit, konsultasi atau referendum yang diselenggarakan secara
eksklusif oleh kekuasaan kolonial dan asing." H. Gros Espiell, op cit. pada p. 11.
20.
Kashmir berhasil kembali kemerdekaan saat dikuasai oleh Kekaisaran
Alexander di abad ke-3 SM dan Kekaisaran Moghul dari abad 16 dan 17.
21. Historic Kashmir terdiri dari sekitar 84.000 mil persegi, membuatnya agak lebih besar bahwa Inggris. Populasi saat ini adalah sekitar 12 juta. 22. Kashmiri juga dipakai mengacu pada bahasa Persia dan Arab. Tertulis Kashmir menggunakan variasi Urdu script. 23. Bahkan kain, bordir dan karpet memiliki desain unik Kashmir. Organisasi saya delegasi laporan luas bahwa pengakuan dari budaya yang berbeda dari Kashmir adalah bulat di India. Sayangnya, pengakuan ini berada di negatif dalam setiap hari-India menunjukkan prasangka yang besar terhadap apa Kashmir.
Delegasi kami mengkonfirmasi India pola pikir bahwa orang Kashmir,
budaya, masakan, memang segala sesuatu tentang Kashmir yang lebih
rendah. Namun dalam pajangan ini, mereka jelas menunjukkan bahwa Kashmir tidak India. 24.
Kashmir penentuan nasib sendiri juga dipertahankan oleh prinsip bahwa
penentuan masa depan politik suatu bangsa terjajah yang dibuat baik oleh
kekuasaan kolonial itu sendiri atau "penguasa" didirikan oleh kekuatan
kolonial bertentangan dengan proses de-kolonisasi dan prinsip penentuan
nasib sendiri. Saya akan menantang legitimasi instrumen aksesi dari Kashmir ke India jika pada kenyataannya seseorang itu harus ditemukan.
Ini penolakan dari "penentuan oleh kekuasaan kolonial" tampaknya
menjadi prinsip dari Dewan Keamanan dalam berurusan dengan Kashmir.
Hal ini juga jelas di balik fakta bahwa pemerintah Spanyol mencari
nasihat dari Mahkamah Internasional pada pertanyaan kepada siapa harus
Spanyol menyerahkan kekuasaan ketika mereka meninggalkan Sahara Spanyol. Lihat Kasus Sahara Barat, 1975 Int'l Pengadilan 12. 25. Silakan lihat Laporan [tentang Tibet] Sekretaris Jenderal, UN Doc. E/CN.4/Sub.2/37, yang mencakup pengajuan saya mengenai penentuan nasib sendiri dan Tibet. 26. Lihat khususnya resolusi Majelis Umum 1353 (1959), 1514 (1960) dan 1.723 (1961). 27.
Silakan lihat laporan tertulis berikut disampaikan kepada Perserikatan
Bangsa-Bangsa melalui Pembangunan Pendidikan Internasional / Proyek
Hukum Humaniter: Penentuan Nasib Sendiri, E/CN.4/1998/89, Situasi di Sri
Lanka, E/CN.4/Sub.2 / 1995/17; E/CN.4/1994/37. 28.
Pada tahun 1799 Sir Hugh Cleghorn, Sekretaris Kolonial pertama, menulis
apa yang telah menjadi dikenal sebagai "Menit Cleghorn": "Dua negara
yang berbeda, dari periode yang sangat kuno, telah dibagi antara mereka
kepemilikan pulau ... Kedua negara berbeda seluruhnya dalam, bahasa
agama dan sopan santun. " 29. Para pakta utama adalah Pakta Bandaranaike-Chelvanayagam dari 1957 dan Pakta Senanayake-Chelvanayagam dari 1965. 30.
Deklarasi Vaddukkoddai Tahun 1976 menandai pecah bersih dari setiap
upaya lebih lanjut oleh pimpinan Tamil untuk menegosiasikan sebuah
negara ganda. Deklarasi ini menyerukan kepada seluruh Tamil bekerja untuk kedaulatan Tamil Eelam. 31.
Perhatikan bahwa beberapa penjajah sebenarnya "break-away" penjajah -
orang-orang yang telah menolak kedaulatan asli mereka dalam mendukung
pemerintahan sendiri dalam koloni "mantan". KAREN PARKER, JD http://www.guidetoaction.org/parker/c97-19.html
MOLUCCAN POLITICAL PRISONERS: PRISONERS OF CONSCIENCE
Dokumen - Indonesia: Rilis Johan Teterissa dan tahanan lainnya dari hati nurani di Indonesia
Amnesti INTERNATIONAL PERNYATAAN PUBLIK Indeks: ASA 21/023/2012 29 Juni 2012 Indonesia: Rilis Johan Teterissa dan tahanan lainnya dari hati nurani di Indonesia
Lima tahun sejak Johan Teterissa ditangkap karena terlibat dalam
demonstrasi damai, Amnesty International menegaskan kembali panggilan
lama kepada pemerintah Indonesia untuk segera dan tanpa syarat
membebaskan dia dan semua tahanan hati nurani lainnya di Indonesia.
Johan Teterissa ditangkap pada tanggal 29 Juni 2007 setelah ia dan 22
aktivis lainnya mengambil bagian dalam sebuah demonstrasi damai di depan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang menghadiri upacara yang
diselenggarakan pemerintah di kota Ambon, ibukota Provinsi Maluku.
Dalam upacara tersebut, Johan Teterissa dipimpin aktivis lainnya - yang
kebanyakan adalah guru atau petani - ke lapangan dan melakukan tarian
perang tradisional di depan Presiden. Pada akhir tarian para aktivis membentangkan "Benang Raja" - sebuah bendera daerah dilarang.
Polisi dan penjaga presiden menanggapi dengan mengawal Johan Teterissa
dan 21 dari para aktivis dari lapangan, mereka meninju dan memukuli
mereka dengan gagang senapan setelah mereka keluar dari pandangan dari
Presiden. The 22 aktivis kemudian disiksa oleh polisi - termasuk petugas dari unit anti-teroris Detasemen-88 (Densus-88) - selama penahanan mereka dan interogasi.
Mereka dipukuli, dipaksa merangkak di perut mereka di atas aspal panas,
dicambuk dengan kabel listrik dan memiliki bola bilyar dipaksa ke dalam
mulut mereka.
Lima tahun, tidak ada investigasi independen telah dilakukan ke dalam
tuduhan penyiksaan dan tidak ada petugas polisi pernah dimintai
pertanggungjawaban.
Amnesty International menyerukan pada pemerintah Indonesia untuk
melakukan penyelidikan yang efektif dan independen ke dalam tuduhan
pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penyiksaan, oleh pasukan
keamanan terhadap Johan Teterissa dan aktivis lainnya, dan untuk membawa
mereka yang bertanggung jawab ke pengadilan di pengadilan yang adil.
Amnesty International khawatir bahwa Johan Teterissa tidak memiliki
akses yang memadai untuk membersihkan air minum di penjara Madiun di
Jawa Timur, di mana ia ditahan.
Selain itu, ada laporan yang dapat dipercaya bahwa otoritas penjara
yang membatasi jumlah air yang tersedia untuk dia dan tahanan lainnya
untuk mandi.
Pihak berwenang harus memastikan bahwa kondisi penjara memenuhi standar
diatur dalam hukum Indonesia dan Peraturan Minimum Standar PBB untuk
Perlakuan terhadap Narapidana. Johan Teterissa dan aktivis lainnya akhirnya didakwa dengan "pemberontakan" (makar)
di bawah Pasal 106 dan 110 KUHP Indonesia - hukum yang sering digunakan
oleh pemerintah Indonesia untuk memenjarakan aktivis politik damai. Johan Teterissa awalnya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, namun, ini berkurang di banding sampai 15 tahun. The 21 aktivis lainnya dijatuhi hukuman penjara antara tujuh dan 20 tahun. Seorang aktivis dua puluh tiga ditangkap pada bulan Juni 2008 dan dijatuhi hukuman penjara empat tahun pada Maret 2009.
Amnesty International menyerukan pada pemerintah Indonesia untuk
mencabut atau mengamandemen Pasal 106 dan 110 dari KUHP sehingga artikel
ini tidak lagi dipakai untuk mengkriminalisasi kebebasan berekspresi.
Pada bulan November 2008, Kelompok Kerja PBB tentang Penahanan
Sewenang-wenang (WGAD) menyatakan penahanan Johan Teterissa untuk
menjadi sewenang-wenang atas dasar bahwa ia dipenjarakan untuk
pelaksanaan hak-hak untuk kebebasan berekspresi dan berkumpul secara
damai - Opini Nomor 41/2008 (Indonesia).
Hak-hak ini dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik (ICCPR), di mana Indonesia merupakan negara pihak, dan dalam
Konstitusi Indonesia.
WGAD juga ditemukan penahanan Johan Teterissa untuk menjadi
sewenang-wenang karena ia telah mengalami suatu pengadilan yang tidak
adil.
Pasal 14 dari ICCPR menjamin hak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka
oleh pengadilan yang kompeten, independen dan tidak memihak yang
ditetapkan oleh hukum.
Amnesty International tidak mengambil posisi apapun mengenai status
politik dari setiap provinsi Indonesia, termasuk panggilan untuk
kemerdekaan.
Namun organisasi percaya bahwa hak untuk kebebasan berekspresi mencakup
hak untuk melakukan advokasi damai referendum, kemerdekaan atau solusi
politik lainnya yang tidak melibatkan hasutan untuk melakukan
diskriminasi, permusuhan atau kekerasan. ICCPR dan Konstitusi Indonesia menjamin hak kebebasan berekspresi, berserikat pendapat, dan berkumpul secara damai.
Sementara pemerintah Indonesia memiliki kewajiban dan hak untuk
mempertahankan ketertiban umum, itu harus memastikan bahwa setiap
pembatasan untuk kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai tidak
lebih dari yang diizinkan oleh hukum hak asasi manusia internasional.